Selasa, 25 Agustus 2015


 sala adalah salah satu makanan khas dari Pariaman Sumatera Barat, makanan ini sangat lezat dan gurih dan berikut di share bagaimana cara membuat makanan ini.

Bahan-bahan:
400g tepung beras
500 ml air mendidih, campur dengan 1/2 bks royco rasa sapi
1 Ikan asin peda, goreng dan suwir2
2 lb daun kunyit segar, iris halus

Bumbu yang dihaluskan:
8 cabe merah
5 siung bawang merah
3 siung bawang putih
2 cm kunyit
2 cm jahe
1/2 sdt garam


Petunjuk
1. Letakkan tepung beras dalam wadah
2. Masukkan bumbu halus dan irisan daun kunyit
3. Masukkan 500 ml air mendidih sedikit, sedikit sambil diaduk dgn sedok kayu
4. Bila sudah agak dingin uleni dengan tangan sampai kalis
5. Ambil adonan sebesar bola pimpong, masukkan ikan asin kedalamnya
6. Tutup kembali (bentuknya jangan terlalu bulat, asal saja)
7. Goreng dalam minyak panas sampai kuning kecoklatan dan matang
8. Sajikan

aliran air sungai ini mengingatkan ku pada-Mu, betapa indahnya ciptaan Allah SWT yang bisa kita nikmati. semua lelah sirna dan tergantikan dengan sejuknya aliran nafas ini menghirup udara segar yang selalu ada disini.
anak-anak tertawa dengan riang menikmati gemericik aliran sungai, tak ada takut dan risau dimatanya.
ah.. indahnya negeri ku, tak perlu jauh untuk menikmati alam ini
karena semua ada disini

Sabtu, 22 Agustus 2015

cerita :

Pariaman sangat terkenal dengan salah satu cerita rakyatnya yaitu nan tongga dan kisah gondan gandoriah yang pada saat ini nama - nama tersebut diabadikan menjadi nama salah satu hotel dan juga nama jalan yang ada di Kota Pariaman.
tentu saja kita semua ingin mengetahui, bagaimana kisah dari dua tokoh ini.
berikut adalah kisahnya yang diambil dari beberapa sumber :


Anggun Nan Tongga 

Dalam masyarakat Minangkabau, cerita rakyat Indonesia disebut kaba. Salah satu kaba yang terkenal di lingkup masyarakat Minakabau adalah Kaba Anggun Nan Tongga (Hikayat Anggun Cik Tunggal, Melayu). Cerita rakyat Indonesia ini jarang sekali dikenal. Cerita rakyat ini pernah digubah oleh Ambas Mahkota dan diterbitkan pertama kali tahun 1960-an di Bukittinggi.

Cerita rakyat ini mengisahkan petualangan dan percintaan antara Anggun Nan Tongga dengan Gondan Gondoriah. Kisah dimulai saat Nan Tongga memutuskan mencari tiga orang pamannya yang sudah lama tidak pulang dari perantauan. Sebelum meninggalkan kampung halamannya di Kampung Dalam, Pariaman, Gondan Gondoriah memesan supaya ketika pulang Nan Tongga membawa buah tangan, yaitu 120 buah benda serta hewan langka nan ajaib. Nah, bagaimana kisah selengkapnya? Apakah Nan Tongga berhasil membawa tiga orang pamannya pulang serta membawa buah tangan seperti diminta oleh Gondan Gondoriah, kekasihnya?

***

Di Jorong Kampung Dalam, Pariaman, pernah hidup seorang pemuda bernama Anggun Nan Tongga, yang juga dipanggil Magek Jabang dan bergelar Magek Durahman. Ibunya, Ganto Sani, meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Sementara, ayahnya pergi tak tentu rimbanya, pamitnya pergi ke Gunung Ledang. Maka, Suto Suri-lah yang mengasuh Nan Tongga sejak bayi. Nan Tongga memiliki kekasih bernama Gondan Gondoriah. Keduanya, seperti adat istiadat zaman dulu, telah dijodohkan sedari kecil. Sebagai seorang pemuda Anggun Nan Tongga tumbuh dengan banyak keahlian. Ia mahir berkuda, bisa pencak silat, pandai mengaji serta dalam ilmu agamanya. Untuk ukuran pada zamannya, Nan Tongga sungguhlah komplit sebagai seorang laki-laki.

Itulah mengapa, ketika Nangkodoh Baha yang berasal dari Sungai Garinggiang mengadakan sayembara untuk mencari suami adiknya, Intan Korong. Nan Tongga meminta izin sekaligus restu kepada Suto Suri untuk ikut sebagai peserta. Pada awalnya Suto Suri tidak setuju. Hal ini karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. Tapi, desakan dari pemuda itu membuat Suto Suri mengalah dan mengizinkannya.

Berbekal keahliannya, Nan Tongga mengalahkan Nangkodoh Baha dalam setiap permainan: catur, memanah, hingga menyabung ayam. Kekalahan tersebut tentu membuat Nangkodoh Baha malu. Lantaran itu, ia mengatakan kepada Nan Tongga, "Jika kamu memang hebat, mengapa kamu membiarkan tiga pamanmu ditawan bajak laut di Pulau Binuang Sati?"

Nan Tongga terkejut mendengar hal ini. Dulu sekali, ketiga pamannya, yaitu Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo, dan Katik Intan, itu pamit pergi merantau, ternyata alasan mereka tidak pulang-pulang adalah karena ditawan bajak laut. Perkataan Nangkodoh Baha seolah menantang nyali Nan Tongga. Ia pun berkata, "Tunggu saja, akan kuselamatkan tiga pamanku itu, Baha!"

Ia minta izin pada Suto Suri dan Gondan Gondoriah. Keduanya memberi restu kepada Nan Tongga. Tapi, Gondan Gondoriah meminta buah tangan kepada Nan Tongga. "Nan Tongga, bawakan aku benda-benda serta hewan-hewan langka nan ajaib sebanyak 120 ya." Beberapa di antara dari 120 permintaan Gondan Gondoriah adalah burung nuri yang bisa bicara, beruk yang pandai bermain kecapi, kain cindai yang tidak basah oleh air, berjambul suto kuning, dikembang selebar alam, dilipat sebesar kuku, disimpan dalam telur burung’.

Berangkatlah Nan Tongga ke Pulau Binuang Sati menumpang kapal Dandang Panjang milik Malin Cik Mas. Setelah berbagai pelabuhan dilabuhi, akhirnya Nan Tongga sampai ke Pulau Binuang Sati, di mana dihuni para perompak yang pimpinan Palimo Bajau. Sesampainya di sana, Nan Tongga dihadang utusan Palimo Bajau, yang kemudian berhasil dikalahkannya. Pecahlah sebuah perang antara Nan Tongga dengan para bajak laut. Dalam perang itu, Nan Tongga membunuh Palimo Bajau, dan para perompak kocar-kacir membubarkan diri.

Kemudian, Nan Tongga menemukan pamannya, Nangkodoh Rajo, yang dikurung di dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua pamannya yang lain, yaitu Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil melarikan diri saat pecah perang. Ia juga mengatakan bahwa apa yang diminta oleh Gondan Gondoriah ada di Kuala Koto Tanau.

Kemudian, Nan Tongga menyuruh Malin Cik Mas pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati. Karena kapal Dandang Panjang dipakai Nan Tongga. Nan Tongga berpesan kepada Malin Cik Mas bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan dan dirinya selamat dan sedang berlayar bersama Dandang Panjang ke Kota Tanau. Sayangnya, Malin Cik Mas berkhianat. Ketika melihat kecantikan Gondan Gondoriah, ia mengatakan hal yang sebaliknya bahwa Nan Tongga sudah tewas dan supaya Malin Cik Mas dijadikan raja. Setelah menjadi raja, Malin Cik Mas mengutus seorang utusan untuk meminang Gondan Gondoriah. Tapi, perempuan itu menolaknya dengan alasan masih berduka atas tewasnya Nan Tongga.

***

Sementara itu, di Kota Tanau, Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain telah menjadi raja di sana. Putri pamannya, Puti Andami Sutan, memiliki seekor burung nuri nan pandai berbicara. Nan Tongga lalu meminta burung tersebut untuk bicara. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga bahwa hanya orang yang menikah dengannya yang dapat memerintahkan burung nuri itu untuk bicara. Karena, ia tidak menemukan cara lain, maka Nan Tongga menikah dengan Andami Sutan.

Setelah menikah dengan Andami Sutan, burung nuri yang bisa bicara itu lepas dari sangkarnya dan pergi ke Pariaman. Dan secara ajaib, menemui Gondan Gondoriah. Di jendela, burung nuri itu mengoceh-ngoceh tentang Nan Tongga yang sudah menikah Andami Sutan, anak pamannya. Hal itu tentu menimbulkan kesedihan tersendiri di hati Gondan Gondoriah. Ia pun pulang ke Gunung Ledang, tempatnya berasal.

Mengetahui burung nuri itu lepas, Nan Tongga bisa memahami bahwa burung nuri itu akan terbang ke Pariaman dan menemui Gondan Gondoriah. Dugaan ini menimbulkan memori tersendiri di benak Nan Tongga, yang menjadi rindu kampung halaman dan tunangannya. Ia pun meninggalkan istrinya, Andami Sutan, yang tengah hamil tua. Sesampainya di Pariaman, Nan Tongga diberitahu Suto Suri bahwa Gondan Gondoriah telah pulang ke Gunung Ledang. Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk kembali ke Pariaman. Karena cintanya, Gondan Gondoriah luluh hatinya, dan kembali bersama Nan Tongga.

Sewaktu hendak menikah, Nan Tongga dan Gondan Gondoriah, mencari Tuanku Haji Mudo meminta restu. Keduanya pergi bersama Bujang Selamat. Namun, Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan. Karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam, berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah, tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.

Karena belum juga pulang Suto Suri mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit.

***

Dikutip dari : cerita rakyat indonesia

Jumat, 21 Agustus 2015

Perjalanan bermakna.

Satu Makna Berjuta Cerita 

Ya... kita memang berbeda, berbeda latar belakang, suku dan juga bahasa. Berbeda cara pandang dan menilai sesuatu. Tetapi perbedaan itu membuat hidup ini sangat bermakna, perbedaan itu menyakinkan aku bahwa hidup itu saling mengisi dan aku banyak belajar bagaimana cara menjalani hidup dan kehidupan ini dengan ikhlas dan tegar.
Perjalananku kesebuah desa membuka pandanganku bahwa keramah tamahan penduduk adalah salah satu magnet untuk membuat kita ingin kembali datang dan berkunjung lagi ke sebuah desa atau tempat. Pengalaman itulah yang kurasakan, aku mendapatkan keramahtamahan dan senyum yang sangat bersahabat dari sebuah desa yang berada di perbatasan. Meski mereka belum kenal dengan ku, sapaan ramah penduduknya dan tutur sapanya membuat aku sangat nyaman dan merasa bahwa aku bukanlah orang asing dan diterima dengan senang hati.
Mayoritas penduduknya adalah petani kebun, tetapi petani kebun yang ada disini tidak sama dengan petani kebun yang ada di kampungku. Ada kebun karet dan kebun sawit yang menjadi sumber mata pencaharian penduduknya, para wanitanya juga tangguh, mereka tidak takut untuk masuk keladang dan dengan kuat serta keberaniannya mereka mampu menyeimbangi laki-laki yang melakukan pekerjaan yang sama. Pada satu ketika, saya singgah menyapa petani karet wanita yang sedang mengumpulkan karet, dengan telaten dan cekatan mereka melakukannya dengan senang hati dan bahkan ia menawarkanku untuk mencobanya. Berkali-kali kucoba tapi aku tak bisa mengimbangi apa yang mereka lakukan bahkan aku cenderung tidak bisa sama sekali.
Lalu kuteruskan perjalananku menuju kebun sawit, banyak sekali para pekerja disana dan dengan ramahnya mereka menyapaku dan dengan senang hati menunjukkan pada ku beberapa batang sawit yang siap panen dan bagaimana cara mereka memanennya. Ah.. aku sungguh bahagia dan senang sekali… ini pengalaman pertamaku mengunjungi daerah ini dan pengalaman ini sangat berkesan buatku.
Tapi ada yang membuatku ingin menangis, yaitu ketika aku melihat sulitnya akses air bersih di desa ini. Para penduduk memanfaatkan air sungai untuk melakukan semua aktifitas, meski air sungai itu keruh dan tidak layak di konsumsi, tetapi mereka tidak memperdulikan itu karena memang tidak ada alternative air yang lain yang bisa mereka gunakan. Dalam hati aku berjanji, untuk datang kembali kedesa ini, esok, lusa atau ditahun mendatang untuk membawakan berita bahagia buat mereka. 

Semoga apa yang kuimpikan dapat terwujud.
Keramahan penduduknya membuat aku ingin melakukan sesuatu yang lebih baik untuk mereka. Semoga Allah SWT mengabulkan doa-doa ku.
Aamiin