Puisi adalah ungkapan perasaan seorang
penyairnya, tetapi bukan perasaan yang kosong melompong, namun perasaan yang
mempunyai kaitan dengan lingkungan hidup dari seorang penyair serta latar
belakang pribadinya. Perasaan demikian disebut momen sensasional. hal
ini mempengaruhi isi puisinya. bagi seorang deklamator, selain harus
menafsirkan isi puisi yang akan di deklamasikan, juga harus tahu saat mana
puisi yang akan di deklamasikan, juga harus tahu menafsirkan isi puisi yang
akan di deklamasikan, harus tahu kapan puisi itu diciptakan dan sedikit latar
belakang penyairnya.
Memang dalam menafsirkan suatu
karya puisi, kadang-kadang kita akan dipengaruhi oleh subjektifitas kita
sendiri, bahkan menafsirkan sesuatu dari sudut pandang kita sendiri. Kita hanya
mengira, mungkin sebuah puisi diciptakan penyairnya hanya menggambarkan
lingkungan dan suasana sekitarnya saja, tetapi kenyataannya banyak puisi
terlahir yang menyangkut aspek sosial, budaya, kemanusiaan dan lain-lain.Begitu
pula sebaliknya, sebuah puisi yang besar, yang mempunyai makna perjuangan
bangsa atau lebih bersifat manusiawi, sering si penafsir hanya memandang
terlalu kecil maknanya. Itulah sebabnya untuk menghindari kekeliruan seperti
ini, kita perlu tahu sedikit tentang latar belakang penyairnya, ruang waktu
karya puisi itu lahir, lingkungan sosialnya, dan adat istiadat dari objek puisi
itu berperan.
sebagai contoh kita ambil saja Chairil
Anwar
Hampa
kepada sri yang selalu sunyi
sepi
diluar, sepi menekan mendesak
lurus
kaku pepohonan. tak bergerak
sampai
kepuncak
sepi
memagut
tak
kuasa berani melepas diri
segala
menanti. menanti. menanti
sepi
dan
ini menanti, penghabisan mencekik
memberati
mencengkung pundak
udara
bertuba
runtuh
gugur segala. setan bertempik
ini
sepi terus ada. menanti. menanti
April 1943
Ditinjau
dari tahunnya, puisi ini lahir pada tahun 1943. tahun –tahun ini adalah masa
jepang berkuasa dengan segala kekejamannya. Jepang menindas setiap pergerakan
yang melawan kekuasaannya dan tahun-tahun ini bangsa kita tengah bergejolak
mempersiapkan saat-saat kemerdekaan Indonesia. Gerakan bangsa kita pada masa
itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi
sepi diluar. Sepi menekan mendesak
semua
orang seakan-akan pasrah. Diam dalam cengkeraman kekejaman jepang. Itu ungkapan
baris pertama dari pusi hampa chairil anwar
pada
bait berikutnya ia menulis:
sampai kepuncak
sepi memagut
tak kuasa berani melepas diri
segala menanti. menanti. menanti
seolah-olah
seluruh lapisan masyarakat, dari terendah sampai keatas sedang diam. Padahal pergolakan
sedang terjadi. Menanti yang dimaksud Chairil Anwar adalah menanti saat pergolakan
itu pecah
Sumber: Andi Wasis. 1981. Deklamasi. Mutiara. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar