1.
Ibnu Khaldun
Abu
Zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun Waliyuddin
al-Tunisi al-Hadrami al-Isybili al-Maliki, dikenal sebagai sejarahwan dan
sosiolog muslim yang banyak mengemukakan gagasannya tentang manusia. Ia
dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di Tunisia, dan wafat di Kairo pada
tanggal 17 Maret 1406. Ibn Khaldun dikenal pula sebagai bapak ilmu-ilmu social.
Menurut
Ibnu Chaldun, sosiologi adalah mempelajari tentang masyarakat manusia dalam
bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk
itu dan hukum yang menguasai perkembangan.
Sebagaimana
diketahui bahwa ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam berbagai kitabnya,
yang terutama dalam muqaddimahnya ia mengkaji “realitas realitas
al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan
tersebut dinamakan “fenomene fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek
pembahasan sosiologi. Sebagaimana perkataannya dalam muqaddimah3 “Ketahuilah
bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan
dunia, tentang perubahan perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu,
seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok; tentang
revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat
melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan
kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam macam kegiatan
dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam
macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala
perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
Adapun
metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metoda
yang ilmiah, karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu
bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang
dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan
itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak
experimental.
Menurut Ibn Khaldun Masyarakat
berbudaya di mana saja dalam menuju kemajuannya harus melalui tiga fase secara
berurutan, yaitu:
1. Fase
primitif, yaitu fase yang bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatik. Pada
fase ini masyarakat dikendalikan oleh adat istiadat dan kebutuhannya serta
tidak dikendalikan oleh hukum.
2. Fase
perubahan masyarakat dari primitif ke masyarakat maju berbudaya. Pada fase ini
muncul sebuah negara yang memiliki penguasa yang mengatur urusan-urusan
masyarakat, dan penduduknya mulai tunduk dan patuh kepada hukum dan
undang-undang.
3. Fase
timbulnya negara. Pada fase ini para penduduk saling bekerja sama dalam
memelihara dan mempertahankan negara dari bahaya, baik yang timbul dari dalam
maupun dari luar demi kestabilan dan keamanan. Pada fase ini pula kefanatikan
terhadap golongan akan hilang[23].
Menurut
Ibn Khaldun, manusia itu lemah, pada mulanya bebal dan pada dasarnya egois (self centred). Di segi lain,
menurutnya, Allah memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan
pemikiran yang abstrak. Bertolak dari premis ini, ia menjelaskan masyarakat
dari sudut keharusan, bukan dari sudut kealamiahan atau keotomatisan. Ibn
Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja diciptakan
guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk
mempertahankan hidup. Pemikiran Ibn Khaldun mengenai sosiologi dapat ditemukan
dalam karya monumentalnya yang berjudul “Al-Muqaddimah”
2.
Auguste Comte
Kata
atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis
Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de
philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan
sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah.
Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti
hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.
Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte menyakini dunia sosial juga
dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari
dunia fisik atau kealaman.
Aguste Comte dikenal sebagai bapak sosiologi,
ia lahir di Montpellier tahun 1798. Ia merupakan seorang penulis kebanyakan,
konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari
Comte. Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan
sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat
empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak
bersifat spekulatif.
2.
Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil
observasi.
3.
Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang
ada kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus
4.
Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta
tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
Comte
mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga
tahapan perkembangan teori secara berturut-turut yaitu keagamaan atau khayalan,
metafisika atau abstrak dan saintifik atau positif. Pada jenjang
pertama, manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada
hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua, manusia mengacu pada
kekuatan-kekuatan metafisik dan abstrak; dan pada jenjang ketiga, penjelasan
alam maupun sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah (didasarkan
atas hukum-hukum ilmiah).
Sumbangan
pemikiran Comte yang lain dalam bidang sosiologi adalah bahwa ia menyebut
sosiologi sebagai “Ratu ilmu-ilmu sosial”. Ia membagi sosiologi ke dalam dua
bagian besar: statika sosial (social
statics) dan dinamika sosial (social dynamic). Statika
mewakili stabilitas, sedangkan dinamika mewakili perubahan.
3.
Emile Durkheim
David
Émile Durkheim di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine (15 April 1858 –
15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia
mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895,
dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial,
L’Année Sociologique pada 1896
Durkheim
merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya-karya utamanya antara
lain: The Division of Labor in Socity
(1968), karya pertamanya yang berbentuk disertasi doktor; Rules of Sociological Method (1968); Suicide (1968); Moral Education (1973), dan The elementary Forms of the Religious life
(1966).
Durkheim
melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia
membedakan antara dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis
dan solodaritas organis. Solodaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas
yang didasarkan atas persamaan. Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai
pada masyarakat yang masih sederhana, yang dinamakan “segmental” pada
masyarakat ini tidak ada sistem pembagian kerja. Pada masyarakat ini apa yang
dilakukan seseorang dapat pula dikerjakan oleh orang lain, sehingga tidak ada
sikap saling ketergantungan dengan orang lain. Tipe solidaritas sosial yang
didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh sesuatu yang
oleh Durkheim dinamanakan conscience
collective (hati nurani kolektif), yaitu suatu sistem kepercayaan dan
perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Pada
buku The Division of Labor in Socity, Durkheim
menekankan pada arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena
menurutnya pembagian kerja berfungsi untuk meningkatkan solidaritas. Pembagian
kerja yang berkembang pada masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak
mengakibatkan disintegrasi masyarakat yang bersangkutan, tetapi justru
meningkatkan solidaritas karena bagian-bagian masyarakat menjadi saling
bergantung.
Pada
buku Rules of Sociological Method,
Durkheim menawarkan definisi mengenai sosiologi. Menurutnya, bidang yang harus
dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang
berisikan cara bertindak, berfikir, dan merasakan yang mengendalikan individu
tersebut. Di antara contoh-contoh yang dikemukan Durkheim mengenai fakta sosial
adalah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan
kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim yang
menjadi pokok perhatian sosiologi.
Kalau
Comte membagi sosiologi menjadi statika sosial dan dinamika sosial, maka
Durkheim memperkenalkan pembagian berdasarkan pokok bahasannya, yaitu sosiologi
umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi kejahatan, sosiologi konflik,
sosiologi ekonomi, morfologi, sosial, dan sejumlah pokok bahasan yang mencakup
sosiologi estetika, teknologi, bahasa, dan perang.
Paradigma
Fakta Sosial Dikembangkan oleh Emile Durkheim dlm The Rules of Sociological Method th.1895 dan Suicide th . 1897. Ia mengkritik
sosiologi yang didominasi August Comte dengang positivismenya bahwa sosiologi
dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan . Durkheim menempatkan fakta
sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research ) bukan dengan penalaran
murni . Teori teori dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural ,
teori Konflik , teori Sosiologi Makro , dan teori Sistem.
Yang
menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah : Struktur Sosial dan Pranata
Sosial. Struktur social: jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan
terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub kelompok
dibedakan . Pranata social: norma dan pola nilai.
Empat Proposisi yg mendukung
kelompok sebagai fakta social
· Kelompok dilihat melalui sekumpulan
individu
· Kelompok tersusun atas beberapa
individu
· Fenomena sosial hanya memiliki
realitas dlm individu, dan
· Tujuan mempelajari kelompok utk
membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar