Abstrak
Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari hubungan-hubungan
antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial. Kajian
sosiologi pendidikan harus terus dilakukan oleh pemerintah, institusi-institusi
yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan, khususnya sekolah dan para guru.
Hal ini karena perkembangan dan perubahan sosial setiap saat selalu berubah.
Tanpa diimbangi oleh kajian yang terus menerus untuk meningkatkan pendidikan
mustahil kiranya tujuan pendidikan akan tercapai.
Sosiologi pendidikan bermula adanya permasalahan permasalahan
pendidikan akibat berubahan sosial masyarakat yang begitu cepat dan itu tidak
bisa terselesaikan oleh lembaga pendidikan. Kemudian para pakar sosiologi ingin
menyumbangkan pemikiran pemecahan masalah tersebut dari sudut pandang disiplin
sosiologi, dan lahirlah sosiologi pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan
penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek
penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan kelompok. Sudut pandangnya
memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan
susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip
mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi.
Dengan memahami dan pengkajian sosiologi pendidikan, teori sosiologi pendidikan
(mikro-makro), dan metode penelitian sosiologi pendidikan dapat dimanfaatkan dalam
memberikan sumbangsih pemecahan masalah masalah pendidikan.
A. Pendahuluan
E.G Payne mengatakan bahwa Sosiologi
Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari
segi ilmu sosiologi yang diterapkan. Sedangkan menurut Gunawan, Sosiologi
Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah
pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis. Dari beberapa defenisi
di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang
mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika,
masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui
analisis atau pendekatan sosiologis
Kajian sosiologi pendidikan
menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang
masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan,
politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang
gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka
sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur
sosial masyarakat. Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan
adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang
secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang
termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu
pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas
kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan
pengetahuan yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan
kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu
secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep
dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan
perkembangan pribadi.
Oleh karena itu mengetahui dan
memahami seluk beluk sosiologi pendidikan sangat dianjurkan guna mendapatkan
pengetahuan yang menunjang perkembangan ilmu itu sendiri dan aplikasinya dalm
kehidupan baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Sejarah Sosiologi Pendidikan
Pengaruh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan masyarakat mengalami
perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu menimbulkan cultural lag.
Cultural lag ini merupakan sumber masalah sosial dalam masyarakat. Masalah
sosial itu di alami oleh dunia pendidikan. Dan lembaga pendidikan tidak mampu
mengatasinya kemudian ahli sosiologi menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk
memecahkan masalah itu, maka lahirlah sosiologi pendidikan.
Sosiologi
pendidikan merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berkembang di awal abad
20 dan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Bidang kajian sosiologi
pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan
pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada
saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”Educational
Sociology.” Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga
pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode
berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational
Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi
dengan pendidikan. Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi
pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan
ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi
Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu
menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Sehubungan
dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam
tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological
approach to education, educational sociology of education, atau the foundation.
Pada akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah
tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
Adapun
perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka,
namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi sangat
penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka
sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang
penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Menurut
pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4
fase, yaitu:
a.
fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan
bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka
namanya adalah filsafat sosial.
b.
Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu
berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi
pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan
sosial.
c.
sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak
sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi
dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai
“perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut
“Psycho-Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil
rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi,
sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d.
pada fase yang terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama
memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan
pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor
sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19
antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.
C. Peletak Dasar Sosiologi
1.
Ibnu Khaldun
Abu
Zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun Waliyuddin
al-Tunisi al-Hadrami al-Isybili al-Maliki, dikenal sebagai sejarahwan dan
sosiolog muslim yang banyak mengemukakan gagasannya tentang manusia. Ia
dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di Tunisia, dan wafat di Kairo pada
tanggal 17 Maret 1406. Ibn Khaldun dikenal pula sebagai bapak ilmu-ilmu social.
Menurut
Ibnu Chaldun, sosiologi adalah mempelajari tentang masyarakat manusia dalam
bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk
itu dan hukum yang menguasai perkembangan.
Sebagaimana
diketahui bahwa ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam berbagai kitabnya,
yang terutama dalam muqaddimahnya ia mengkaji “realitas realitas
al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan
tersebut dinamakan “fenomene fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek
pembahasan sosiologi. Sebagaimana perkataannya dalam muqaddimah3 “Ketahuilah
bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan
dunia, tentang perubahan perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu,
seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok; tentang
revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat
melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan
kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam macam kegiatan
dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam
macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala
perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
Adapun
metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metoda
yang ilmiah, karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu
bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang
dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan
itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak
experimental.
Menurut Ibn Khaldun Masyarakat
berbudaya di mana saja dalam menuju kemajuannya harus melalui tiga fase secara
berurutan, yaitu:
1. Fase
primitif, yaitu fase yang bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatik. Pada
fase ini masyarakat dikendalikan oleh adat istiadat dan kebutuhannya serta
tidak dikendalikan oleh hukum.
2. Fase
perubahan masyarakat dari primitif ke masyarakat maju berbudaya. Pada fase ini
muncul sebuah negara yang memiliki penguasa yang mengatur urusan-urusan
masyarakat, dan penduduknya mulai tunduk dan patuh kepada hukum dan
undang-undang.
3. Fase
timbulnya negara. Pada fase ini para penduduk saling bekerja sama dalam
memelihara dan mempertahankan negara dari bahaya, baik yang timbul dari dalam
maupun dari luar demi kestabilan dan keamanan. Pada fase ini pula kefanatikan
terhadap golongan akan hilang[23].
Menurut
Ibn Khaldun, manusia itu lemah, pada mulanya bebal dan pada dasarnya egois (self centred). Di segi lain,
menurutnya, Allah memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan
pemikiran yang abstrak. Bertolak dari premis ini, ia menjelaskan masyarakat
dari sudut keharusan, bukan dari sudut kealamiahan atau keotomatisan. Ibn
Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja diciptakan
guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk
mempertahankan hidup. Pemikiran Ibn Khaldun mengenai sosiologi dapat ditemukan
dalam karya monumentalnya yang berjudul “Al-Muqaddimah”
2.
Auguste Comte
Kata
atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis
Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de
philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan
sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah.
Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti
hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.
Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte menyakini dunia sosial juga
dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari
dunia fisik atau kealaman.
Aguste Comte dikenal sebagai bapak sosiologi,
ia lahir di Montpellier tahun 1798. Ia merupakan seorang penulis kebanyakan,
konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari
Comte. Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan
sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat
empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak
bersifat spekulatif.
2.
Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil
observasi.
3.
Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang
ada kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus
4.
Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta
tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
Comte
mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga
tahapan perkembangan teori secara berturut-turut yaitu keagamaan atau khayalan,
metafisika atau abstrak dan saintifik atau positif. Pada jenjang
pertama, manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada
hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua, manusia mengacu pada
kekuatan-kekuatan metafisik dan abstrak; dan pada jenjang ketiga, penjelasan
alam maupun sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah (didasarkan
atas hukum-hukum ilmiah).
Sumbangan
pemikiran Comte yang lain dalam bidang sosiologi adalah bahwa ia menyebut
sosiologi sebagai “Ratu ilmu-ilmu sosial”. Ia membagi sosiologi ke dalam dua
bagian besar: statika sosial (social
statics) dan dinamika sosial (social dynamic). Statika
mewakili stabilitas, sedangkan dinamika mewakili perubahan.
3.
Emile Durkheim
David
Émile Durkheim di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine (15 April 1858 –
15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia
mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895,
dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial,
L’Année Sociologique pada 1896
Durkheim
merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya-karya utamanya antara
lain: The Division of Labor in Socity
(1968), karya pertamanya yang berbentuk disertasi doktor; Rules of Sociological Method (1968); Suicide (1968); Moral Education (1973), dan The elementary Forms of the Religious life
(1966).
Durkheim
melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia
membedakan antara dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis
dan solodaritas organis. Solodaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas
yang didasarkan atas persamaan. Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai
pada masyarakat yang masih sederhana, yang dinamakan “segmental” pada
masyarakat ini tidak ada sistem pembagian kerja. Pada masyarakat ini apa yang
dilakukan seseorang dapat pula dikerjakan oleh orang lain, sehingga tidak ada
sikap saling ketergantungan dengan orang lain. Tipe solidaritas sosial yang
didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh sesuatu yang
oleh Durkheim dinamanakan conscience
collective (hati nurani kolektif), yaitu suatu sistem kepercayaan dan
perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Pada
buku The Division of Labor in Socity, Durkheim
menekankan pada arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena
menurutnya pembagian kerja berfungsi untuk meningkatkan solidaritas. Pembagian
kerja yang berkembang pada masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak
mengakibatkan disintegrasi masyarakat yang bersangkutan, tetapi justru
meningkatkan solidaritas karena bagian-bagian masyarakat menjadi saling
bergantung.
Pada
buku Rules of Sociological Method,
Durkheim menawarkan definisi mengenai sosiologi. Menurutnya, bidang yang harus
dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang
berisikan cara bertindak, berfikir, dan merasakan yang mengendalikan individu
tersebut. Di antara contoh-contoh yang dikemukan Durkheim mengenai fakta sosial
adalah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan
kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim yang
menjadi pokok perhatian sosiologi.
Kalau
Comte membagi sosiologi menjadi statika sosial dan dinamika sosial, maka
Durkheim memperkenalkan pembagian berdasarkan pokok bahasannya, yaitu sosiologi
umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi kejahatan, sosiologi konflik,
sosiologi ekonomi, morfologi, sosial, dan sejumlah pokok bahasan yang mencakup
sosiologi estetika, teknologi, bahasa, dan perang.
Paradigma
Fakta Sosial Dikembangkan oleh Emile Durkheim dlm The Rules of Sociological Method th.1895 dan Suicide th . 1897. Ia mengkritik
sosiologi yang didominasi August Comte dengang positivismenya bahwa sosiologi
dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan . Durkheim menempatkan fakta
sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research ) bukan dengan penalaran
murni . Teori teori dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural ,
teori Konflik , teori Sosiologi Makro , dan teori Sistem.
Yang
menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah : Struktur Sosial dan Pranata
Sosial. Struktur social: jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan
terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub kelompok
dibedakan . Pranata social: norma dan pola nilai.
Empat Proposisi yg mendukung
kelompok sebagai fakta social
· Kelompok dilihat melalui sekumpulan
individu
· Kelompok tersusun atas beberapa
individu
· Fenomena sosial hanya memiliki
realitas dlm individu, dan
· Tujuan mempelajari kelompok utk
membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu
D. Teori Sosiologi Makro
Teori sosiologi
mengkaji secara sistematik dan objektif tentang tingkah laku sosial, mengkaji
dan menerangkan tindakan di kalangan manusia, dan tekanan interaksi di kalangan
manusia dalam interaksi timbal balik. Teori sosiologi Makro (mengkaji hubungan di kalangan struktur
dan institusi sosial).
Pokok bahasan
utama dalam sosiologi pendidikan adalah institusi pendidikan formal, dan
institusi pendidikan formal terpenting dalam masyarakat adalah sekolah yang
menawarkan pendidikan formal mulai jenjang prasekolah sampai dengan jenjang
pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus. Di samping pendidikan
formal yang menjadi pokok bahasan utama sosiologi pendidikan, pendidikan non
formal dan informal pun tidak luput dari perhatian para ahli sosiologi.
1.
Teori Struktural Fungsional
Teori
ini menganggap masyarakat sebagai suatu system dari bagian-bagian yang saling
berhubungan. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik. Secara
fundamental system sosial cenderung bergerak kearah equilibrium dan bersifat
dinamis. Disfungsi / ketegangan sosial / penyimpangan sossial / penyimpangan
pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses
institusionalisasi. Perubahan-perubahan dalam system sosial bersifat gradual
melalui penyesuaian dan bukan bersifat revolusioner. Faktor penting dalam
integrasi adalah konsensus.
Tolcot
Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem
yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya
bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
Pokok-pokok
pikiran para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah
menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini,
sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner (
1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang
digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Tampilnya
paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang
baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.
Secara
garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas
dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional
struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu
system sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling
berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional - structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional - structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Emile
Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori
fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan
karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang
memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh
bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer
menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang
seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau
perubahan social. Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat
prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan
sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing
system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris
mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak
merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta
dalam system cultural “.
Teori
struktural, dimana teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial
yang menedkankan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri
berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan
pendidikan, Talcot Parson mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah
diantaranya:
a. Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Dimana
sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalitas salah satunya yaitu
mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadap
dunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh
bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat, dll) ke peran dewasa
yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya.
b. Sekolah sebagai seleksi dan alokasi dimana
sekolah memberikan motivasi-motivasi prestassi agar dapat siap dalam dunia
pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
c.
Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya
memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal
usul peserta didiknya.
2. Teori Konflik
Menurut
ahli teori konflik, ahli fungsionalis sedang mendukung status quo dengan menguraikan masyarakat seolah-olah adalah
dalam keadaan yang terbaik sama dengan yang diharapkan. Dalam arti perubahan
tidaklah selalu berjalan secara normatif. Sebaliknya dalam setiap masyarakat
apapun, konflik senantiasa ada dalam masyarakat, dan konflik merupakan bagian
integral dalam dinamika kehidupan, serta tidak selalu negatif.
Sebagai
implikasinya, mereka berasumsi bahwa kapan saja suatu keuntungan kelompok,
suatu kelompok yang berbeda besar kemungkinan akan mnguasai kelompok lain.
Walaupun sebagian besar para ahli teori konflik mengakui betapa besar pengaruh
Karl Marx dalam teori konflik tersebut, namun juga tidak sedikit peranan ahli
teori konflok non-Marxis lainnya seperti Georg Simmel (teori superordinasi dan
subordinasi, maupun konlik dengan out-group),
Ralf Dahrendorf (teori otoritas dan konflik sosial, maupun teori kepentingan
laten dan manifest), Lewis Coser (tentang fungsi-fungsi konflik dan macam
konflik realistik dan non-realistik), maupun Randal Collins (teori konflik
makro dan mikro).
Teori
Konflik yang didalanya tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut
Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti
halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status.
Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang
menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan
disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan
dengan golongan lain. Menuru Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan
tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada
kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi
pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk
mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori
konflik berangkat dari asumsi awal tentang adanya suatu ketegangan di dalam
masyarakat dan bagian-bagiannya yang tercipta karena adanya kepentingan yang
saling bertentangan dari individu dan kelompok. Teori ini dilandasi dari
tulisan Karl Marx dan Max Weber tentang teori konflik.
Marx
mendasari teori konflik dari kondisi sosial para pekerja yang dieksploitasi di
dalam sistem kelas sebagai akibat dari kapitalisme. Marx menyatakan bahwa
kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan, yaitu kelompok masyarakat
‘kaya’ dan ‘miskin’ berada dalam suatu kondisi ketegangan yang konstan yang
kemungkinan dapat menimbulkan pertentangan. Kelompok ‘kaya’ mengendalikan
kekuasaan, kekayaan, barang-barang materi, privilese (termasuk akses terhadap
pendidikan yang terbaik), serta pengaruh; sedangkan kelompok kaum ‘miskin’
menyajikan suatu tantangan yang bersifat konstan karena mereka terus berusaha
mendapatkan suatu bagian yang lebih besar dari kemakmuran masyarakat.
Pertentangan untuk merebut kekuasaan tersebut membantu menentukan struktur dan
berfungsinya organisasi dan hirarkhi yang muncul sebagai akibat dari hubungan
kekuasaan.
3.
Teori Marxian
Teori Marx
merupakan suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang
kenyataan sosial. Teori ini menekankan pada saling ketergantungan yang tinggi
antara struktur sosial dan kondisi materil, dimana individu harus menyesuaikan
dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Penekanan Marx
pada penyesuaikan diri dengan lingkungan materil serta sumber-sumber yang
dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu
catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya.
Menurut Marx, hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani
melalui struktur ekonomi masyarakat. Struktur internal ekonomi itu terdiri dari
kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan untuk memiliki
alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan
ekonomi (Giddens, 1986).
Meskipun pendekatan teoritis
Marx secara keseluruhan dapat diterapkan pada tahap sejarah apapun, namun
perhatian utamanya adalah pada tahap masyarakat kapitalis. Pandangan Marx
mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatannya merupakan
suatu elemen penting dalam pendekatan masa kini. Penekanan Marx pada bagaimana
ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan
struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang
dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang
sosiologi pengetahuan pada masa kini. Untuk itu, ideologi-ideologi dikembangkan
dan digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan pelbagai kelompok
dalam masyarakat.
Secara garis besarnya, Marx
menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat dasar manusia. Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif,
artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam, dengan
bekerja seperti itu maka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan perumahan,
dan kebutuhan lainnya yang memungkinkan mereka hidup.
Produktivitas
mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif
mendasar yang mereka milik, dan dorongan ini diwujudkan bersama sama dengan
orang lain, dengan kata lain bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahluk
sosial, mereka perlu bekerja sama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka
perlukan untuk hidup.
Marx
sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada
berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga
menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum
buruh dalam semua proses produksi. Marx, juga menyoroti perkembangan dan
kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan
gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang
memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau
pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik
sentral ajarannya Marx.
Kelas
sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu
saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena
runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial
dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi
obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis
terhadap sistem ekonomi kapitalis.
E. Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1. Teori Fenomenologi
Penelitian
yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna
peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu.
Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara
yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta”
atau “penyebab”.
Jika
peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradikma definisi sosial
biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenoligi
dengan paradigm definisi sosial ini akan member peluang individu sebagai subjek
penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi terhadap intepretasi
itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian,
dalam hal demikian Berger menyebutnya dengan first order understanding and
second order understanding.
Pendekatan
fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi
untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung
makna bahwa kita perlu menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true
or false (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68).
2.
Teori Interaksi Simbolis
Istilah
interaktionisme simbolis diciptakan oleh Herbert Blumer, figur yang
terkemuka dalam mempromosikan
modelnya sejak 1930-an (Spencer dan Inkeles, 1982: 16). Tokoh lainnya adalah
George Herbert Mead, yang mengatakanbahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi dengan pihak-pihak lain, dengan perantaraan lambang-lambang
tertentu yang dipunyai bersama. Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut,
maka manusia memberikan arti pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat
menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang-lambang tersebut.
Manusia
juga membentuk perspektif-perspektif tertentu, melalui suatu proses sosial di
mana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya.
Selanjutnya mereka berperilaku menurut hal-hal yang diartikan secara sosial.
Mead menyatakan bahwa lambang-lambang, terutama bahasa, tidak hanya merupakan
sarana untuk mengadakan komunikasi antar pribadi, tetapi juga untuk komunikasi
dengan dirinya sendiri khususnya untuk berpikir (1934: 136). Manusia mungkin
saja berbicara dengan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya
sendiri. Dengan cara demikian seseorang dapat menyesuaikan perilakukna dengan
pihak lain.
Beberapa
tokoh lainnya yang ternama adalah Herbert Blumer, Ralph H. Turner, Howard S.
Becker, dan Norman K. Denzin. Sedangkan tokoh interaksinisme simbolik yang
sekarang makin dikenal di kalangan sosiolog adalah Erving Goffman (Spencer dan
Inkeles, 1982: 17; Soekanto, 1982: 8).
Interaksi
simbolik dalam sosiologi pendidikan juga menunjang dan mewarnai aktifitass
akademik riset kualitatif. Bagian penting dalam interaksi simbolik adalah
konstruksi antara diri pribadi (self). Dalam membentuk atau mendefinisikan
diri, orang berusaha melihat dirinya sebagaimana orang-orang lain melihat
dirinya dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan yang ditunjukkan
kepadanya dan dengan jalan menampatkan dirinya pada peranan orang lain. Menurut
Noeng Muhadjirin dalan Tjipto (2009: 81) konsep interaksi simbolik bertolak
pada tujuh posisi dasar, yaitu:
1)
Bahwa perilaku manusia itu mempunyai
.makna dibalik yang menggejala, sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan
perilaku yang terelubung
2)
Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu
dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun
lingkungannya, manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan
simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan mencintai Tuhan
3)
Bahwa masyarakat manusia itu merupakan
proses yang berkembang holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak
terduga.
4)
Perilaku manusia itu berlaku
berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan
dan tujuan, bukan di tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku
manusia bertujuan dan tidak terduga.
5)
Konsep mental manusia itu berkembang dialektik,
mengakui adanya tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan
materialistic
6)
Perilaku manusia itu wajar, dan
konstruktif kreatif, bukan elementer reaktif
7)
Perlu di gunakan metoda instrospeksi
simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir,
dalam Tjipto 2009: 82).
Dari
perspektif simbolik, semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang
mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau prspektif lewat proses
interpretasi dan mereka bertindak dalam makna definisi tersebut.
3.
Teori Etnografi
Menurut
Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan bahwa kerangka kerja yang
digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah onsep tentang kebudayaan
(the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya
disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang
dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghassilkan sesuatu
(Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
Beberapa
antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang
digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkahlaku”
(Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa
yang dilakukan orang, dan barang-barang yang dibuat dan dipergunakan. Untuk
mendiskripsikan budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti meungkin berfikif
tentang perristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan
tingkahlaku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya).
Peneliti Etnografi agar dapat
mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)
Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi
diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu
dalam waktu yang relative lama.
2)
Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian
psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya.
3)
Fokus etnografi adalah situasi nyata
dan setting secra alamiah dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial
dengan anggota masyarakat lainnya.
4)
Etnografi menempatkan pada perlunya
koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
5) Etnografi
bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data.
Dari
hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological
Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks
duania perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan
terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif
Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan
psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak dapat
dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating)
kedalam pengamatan persepsi subjek serta system kepercayaan diri mereks yang
terlibat dalam penelitian.
F.
Penutup
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala
sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari
sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara
mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog
hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya. Jadi sosiologi pendidikan merupakan
salah satu sosiologi khusus.
Perubahan sosial berimplikasi pada perubahan
pendidikan. Pemahaman terhadap perubahan sosial ini menuntut adanya stakehoder
di bidang pendidikan untuk melakukan perubahan menuju kemajuan. Tanpa upaya
serius, pendidikan akan tertinggal oleh perubahan tersebut. Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya menelaah berbagai macam
hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah
konsep-konsep umum. Sehingga sosiologi dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan, untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Melalaui
analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka
mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para
praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi,
budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
Tujuan
sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan
pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi
pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan
fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.
Menurut
Ballantine Bidang cakupan sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok
sebagai berikut: a) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam
masyarakat; b) Hubungan antar manusia di dalam sekolah; c) Pengaruh sekolah
terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah/ lembaga pendidikan;
dan d) Lembaga pendidikan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Ary H. Gunawan, 2000, Sosiologi
Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
_____________. 2006. Sosiologi
Pendidikan Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendididikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ballantine, Jeanne H., 2001. The
Sociology of Education: A Systematic Approach. Upper Saddle River, New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Garfinkel,
Harold,1967, Studies in
Ethnomethodology, Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Cairo: Musthafa Muhammad, tt), Jil. II,
Karsidi, Ravik. 2007. Sosiologi
Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
Katamto Sunarto, 1993, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga
Penerbit FE UI
Laeyendecker, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia,
Mead, George Herbert, 1934, Mind, Self, and Society, Kata
Pengantar dan editor oleh Charls W. Morris, Chicago: University of Chicago
Press
Robert N. Beck, 1979, Handbook in Social Philosophy, New
York: Macmillan Publishing Co., Inc
Sanapiah Faisal dan Nur Yasik. 1987. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Soekadijo, 1989, Tendensi dan
tradisi dalam sosiologi pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia.
Spencer, Metta dan Inkeles Alex,
1982, Foundations of Modern Sociology,
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Subadi Tjipto, 2009, Sosiologi dan
Sosiologi Pendidikan, Penerbit: Fairuz Media Duta Pertama Ilmu.
Taufik Abdullah dan A.C. Van Der
Leeden (penyunting), 1986, Durkheim
dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Zeitlin, Irving, M., 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap
Teori Sosiologi Kontemporer, Penerjemah: Anshori dan Juhanda,
Yogyakarta: Gajam Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar