Begitu banyak kesenian tradisional yang mulai hilang dan tergantikan dimasa kini. Remaja lebih menikmati belajar dan bermain musik modern dibandingkan dengan mempelajari dan menampilkan atraksi budaya. Disekolah-sekolah formal tidak lagi diajarkan dan dipertontonkan ragam tari tradisional, kesenian minang dan penampilan bakat anak-anak sudah mulai berkurang dan tergantikan dengan kebanggaan para guru dan orang tua ketika anak mereka menguasai sebuah teknologi. Hal ini membuat penulis cukup khawatir jika suatu saat nanti sebuah identitas budaya asli tak lagi dikenali oleh anak negeri sendiri.
Dalam wikipedia Indonesia,
penulis mendapatkan informasi bahwa Indang
adalah alat kesenian tradisional tepuk yang berasal dari daerah Sumatera
Barat. Alat kesenian Indang ini disebut juga Ripai, Bentuknya sama
dengan rebana,
tetapi ukurannya lebih kecil, garis tengahnya sekitar 18 sampai 25 cm dan
tingginya 4,5 cm. Seperti juga rebana , alat kesenian Indang ini juga
berasal dari Arab
dan kesenian yang dimainkan memakai Indang ini adalah kesenian bernafaskan Islam.
Pada
zaman dahulu pada setiap nagari di Pariaman
punya grup Indang sendiri. Menurut kepercayaan yang ada setiap kelompok Indang
ini mempunyai apa yang disebut Sipatuang Sirah yaitu kelompok orang tua
yang mempunyai kekuatan gaib untuk menjaga keselamatan grupnya dari kekuatan
luar yang dapat menghancurkan kelompok lain.
Dalam
hal pemilihan waktu, permainan Indang ini terkenal pula dengan istilah Indang
naik dan Indang turun. Istilah Indang naik dan Indang turun ini sudah
memasyarakat di Pariaman, bila permainan Indang memasuki hari pertama, maka
mulainya permainan dilakukan pada tengah malam antara jam 11 dan 12 malam.
Tetapi bila permainan memasuki hari kedua, maka mulainya adalah senja hari
sehabis shalat Maghrib.
Kesenian
Indang ini lahir dan berkembang disurau-surau yang dimainkan sesudah mengaji.
Isi dari nyanyian yang dilakukan adalah tentang pengajaran agama, oleh sebab
itu sifatnya adalah dakwah dan pemainnya adalah pemuda-pemuda yang menuntut
pengetahuan agama. Tetapi dalam perkembangan berikutnya pusat aktifitas permainan
Indang berubah dari surau keluar surau yaitu ketempat sasaran yang disebut laga-laga,
sejenis pentas yang tidak diberi dinding sehingga penonton dapat melihat dari
segala penjuru.
Dalam
masyarakat Pariaman, gendang rebana dikenal disebut gendang Rapa’i – merujuk
nama pencipta tari indang. Gendang Rapa’i tidak hanya menjadi properti
pementasan. Gendang kecil yang terbuat dari kulit kambing ini juga menjadi
salah satu elemen musik yang penting dalam setiap pementasan tari indang.
Selain alunan rampak yang bersumber dari
gendang Rapa’i, musik yang mengiringi tari indang juga diperkaya oleh alunan
yang bersumber dari suara marwas, perkusi, kecrek, dan biola. Selain itu,
sepanjang pementasan tari indang, akan ada seorang syekh yang melantunkan
syair-syair bernuansa islami yang intinya mengajarkan kebaikan, menghormati
nabinya, dan patuh kepada perintah tuhan.
Tari indang tidak hanya dipentaskan saat
upacara tabuik. Tari ini pun sering dipentaskan pada berbagai acara lain,
seperti acara penyambutan tamu agung, pengangkatan penghulu di suatu desa, atau
acara festival budaya. Tari indang merupakan salah satu kekayaan kebudayaan
nusantara. Tari ini merepresentasikan masyarakat Pariaman yang bersahaja,
saling menghormati, dan patuh kepada perintah tuhan sesuai dengan budaya Melayu.
Semoga
kesenian ini tumbuh dan kembali berkembang serta tak terkikis oleh kemajuan zaman.
Semoga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar